Ketunanetraan yang telah menyertaiku sejak lahir membedakan liku-liku kehidupanku dari orang tua dan saudara-saudaraku. Sekolah tempat belajarku, lingkungan sosialku, pekerjaanku, semuanya berbeda–tetapi, setidak-tidaknya menurut persepsiku sendiri, kehidupanku saat ini lebih baik. Aku meninggalkan desa kelahiranku beserta semua yang kusayangi pada usia tujuh tahun untuk bersekolah di sekolah khusus bagi tunanetra di Bandung sekitar enam puluh kilometer dari rumah – satu jarak yang terasa sangat jauh pada awal tahun 1960-an. Di kota inilah aku telah dibesarkan, menempuh pendidikan, mendapat pekerjaan dan menjalani kehidupan rumah tanggaku hingga kini.
Hidup jauh dari orang tua pada masa kanak-kanak merupakan pengalaman yang tidak mudah. Aku kehilangan banyak hal, tetapi yang paling kurasakan hilang adalah dongeng ibuku sebelum tidur. Akan tetapi, aku selalu teringat akan kata-kata ibuku ketika dia membujukku agar mau bersekolah di Bandung. “Nanti kamu akan bisa membaca dongeng sendiri,” katanya. Tentu saja dia benar. Sekolahku memiliki perpustakaan dengan koleksi buku cerita anak-anak yang cukup banyak – buku-buku Braille. Keinginanku untuk membaca buku-buku itu memotivasiku untuk belajar keras demi menguasai tulisan Braille dengan cepat. Aku masih ingat benar bahwa buku pertama yang kupinjam dari perpustakaan itu adalah “Pinokio”. Aku begitu menyukainya sehingga buku itu kubaca berulang-ulang. Aku bahkan membawa pulang buku itu pada satu liburan sekolah dan membacakannya kepada teman-teman sebayaku di kampung. Mereka sangat terkesan; bukan hanya oleh ceritanya, tetapi juga oleh kenyataan bahwa aku membaca Braille, satu tulisan yang tidak dapat mereka baca. Beberapa di antara mereka memintaku mengajarinya menulis Braille, dan itu kulakukan; dan hal tersebut memberiku perasaan superioritas. Untuk menempatkan diriku lebih jauh di pusat perhatian mereka, aku merancang lembar-lembar “uang kertas”, yang kububuhi angka-angka Braille (menggunakan reglet dan pen – alat tulis Braille) untuk menandai nilainya. Kami bermain dagang-dagangan menggunakan uang Braille itu. Aku ingat betapa pentingnya kurasakan diriku saat itu karena teman-teman bermainku harus bergantung pada diriku untuk mengetahui nilai “uang” miliknya.
Kembali ke sekolah setelah libur panjang, guru kelas kami (kelas empat) menyuruh kami membuat karangan tentang pengalaman berlibur kami, dan kemudian kami harus membacakan karangan tersebut di depan kelas. Aku mendapat giliran terakhir (dari lima murid di kelas empat itu) untuk membacakan karangan, dan, segera setelah aku selesai membaca, Ibu Guru berkata, “Bukankah dia ratu uang?” Teman-teman sekelasku menyambut ucapan itu dengan bersorak tanda setuju.
Keberhasilanku berikutnya bersama Braille kuraih di kelas satu SPG, SPG biasa. Aku menulis sebuah cerita pendek untuk berpartisipasi dalam pagelaran sastra yang diselenggarakan oleh sekolahku. Seorang teman sekelas membantu menyalinkan tulisanku itu ke dalam tulisan biasa. Seorang wartawan yang mengunjungi pagelaran tersebut tertarik dengan cerita pendek itu dan meminta izinku untuk menerbitkannya dalam harian Suara Karya. Cerpen itu diterbitkan dan Koran itu membayarku! Itu merupakan satu kejutan yang sangat menggembirakanku. Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku memperoleh uang hasil kerjaku sendiri, dan hal ini telah memotivasiku untuk belajar lebih banyak tentang penulisan karya sastra.
Setamat dari SPG aku melanjutkan studi ke jurusan bahasa Indonesia di IKIP Bandung. Di sini, di samping kegunaannya yang sudah jelas, aku juga memanfaatkan Braille untuk memenangkan persahabatan di kalangan teman-teman sekelasku. Didorong oleh rasa ingin tahunya, mereka memintaku menuliskan abjad Braille pada potongan-potongan kertas atau menuliskan nama mereka pada buku tulisnya, dan peristiwa ini membawa kami ke hubungan persahabatan.
Tamat dari IKIP pada tahun 1979, aku melamar pekerjaan sebagai guru dan diangkat sebagai guru bahasa Indonesia di sekolah khusus bagi tunanetra tempatku bersekolah semasa kecil. Di sini aku mendapatkan banyak kepuasan dalam mengajarkan Braille kepada anak-anak tunanetra.
Satu tahun kemudian aku menikah dan memulai kemandirian yang sesungguhnya dalam kehidupan orang dewasa. Lagi-lagi, aku mendapati Braille sangat bermanfaat untuk kegiatan kehidupan kami sehari-hari. Suamiku juga tunanetra. Untuk memudahkan kami mengenali berbagai macam stoples tempat menyimpan gula, garam, kopi, teh, dll., kami menempeli stoples-stoples itu dengan label Braille. Kami juga menandai kertas-kertas penting seperti sertifikat dengan Braille untuk tujuan yang sama.
Ambisi sastraku mendapatkan penyalurannya ketika muncul kesempatan bagiku untuk turut serta dalam lomba mengarang cerita anak-anak yang diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Dasar pada tahun 1983 untuk guru-guru sekolah luar biasa seIndonesia. Suamiku membantuku mengalihhurufkan naskah Braille itu ke dalam tulisan biasa dengan mengetiknya menggunakan mesin tik manualnya (komputer bagi tunanetra belum dikenal di Indonesia pada sat itu). Aku mengirimkan naskah itu ke panitia lomba di Jakarta, dan beberapa bulan kemudian datanglah pengumuman bahwa aku memenangkan hadiah pertama. Peristiwa tersebut selalu melekat dalam ingatanku – bukan hanya karena kejuaraan itu, tetapi terutama karena aku harus membawa anak kami yang kedua, Sendy (yang baru berusia beberapa bulan) ke Jakarta untuk menerima piala dan hadiah uang.
Kesempatan lainnya datang tiga tahun kemudian dan sekali lagi aku memenangkan hadiah pertama. Kedua cerita tersebut diterbitkan oleh dua penerbit yang berbeda (Tirta Kancana dan Balai Pustaka) dan telah menambah koleksi buku cerita anak-anak di perpustakaan sekolah-sekolah di seluruh Indonesia.
Untuk keberhasilan-keberhasilan ini, dan untuk kemudahan yang kunikmati dalam berbagai kegiatan kehidupan sehari-hari, aku berhutang budi kepada Louis Braille yang telah memungkinkan para tunanetra di seluruh dunia memperoleh akses ke dunia tulisan.
* Wacih Kurnaesih
Pemenang pertama pada Lomba Menulis Essai Onkyo Braille tahun 2004