Berkunjung ke daerah menjadi salah satu momentum penting bagi DPP Pertuni untuk melakukan analisis situasi terkait dengan pemberdayaan tunanetra di suatu daerah. Dari hasil analisis situasi tersebut, diharapkan akan menjadi dasar pemikiran untuk merencanakan program tertentu, baik untuk daerah di mana kunjungan dilakukan, maupun untuk daerah lainnya. Begitupun saat Tim DPP Pertuni berkunjung ke Provinsi Aceh. Salah satu yang menjadi perhatian adalah pelaksanaan pendidikan inklusif di provinsi yang terletak di ujung Barat Indonesia ini. Dari hasil pengamatan serta Data yang berhasil dihimpun DPP Pertuni menunjukkan, hampir seluruh tunanetra di provinsi Aceh menempuh pendidikan di SLB selama 12 tahun.
Pertanyaan yang muncul kemudian, ada apa dengan pelaksanaan pendidikan inklusif di Aceh? Mengapa hampir semua tunanetra, bahkan yang tidak memiliki hambatan intelektual pun, menempuh pendidikan tingkat dasar dan menengah hanya di SLB, bukan dis ekolah regular? Kondisi ini tentu telah memberikan dampak yang sangat besar pada proses pemberdayaan tunanetra, di provinsi yang pernah dilanda gelombang tzunami pada 2004 ini.
Dari sisi kurikulum, muatan akademik SLB sangat rendah jika dibandingkan dengan sekolah reguler. Hanya 40 % dari kurikulum SLB yang memiliki porsi akademik, selebihnya adalah pelajaran keterampilan. Jika siswa tunanetra yang menyelesaikan pendidikan 12 tahun berkeinginan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, ada gap akademik yang lebar, yang membuat mereka sulit menyesuaikan diri dengan tingkat dan proses pendidikan di perguruan tinggi.
Di SLB, tidak ada kurikulum pembelajaran komputer untuk siswa tunanetra. Meski di sekolah tempat mereka belajar memiliki komputer, namun tidak ada pembelajaran komputer untuk siswa tunanetra. Guru-guru pun hanya sekedar mengetahui, bahwa, untuk menggunakan komputer, tunanetra membutuhkan aplikasi pendukung. Pembelajaran komputer akan diselenggarakan, jika ada penyandang tunanetra dewasa yang bersedia menjadi relawan untuk mengajari adik-adik atau junior mereka. Jadi, bukan secara resmi diprogramkan oleh sekolah.
Jika saat ini ada beberapa siswa tunanetra di Aceh telah mampu menggunakan teknologi komputer, itu karena mereka mengikuti pelatihan komputer secara daring yang dilaksanakan oleh DPP Pertuni. Jika mereka belum memiliki laptop sendiri, DPP Pertuni pun meminjamkannya dengan mengirimkan laptop tersebut ke rumah siswa yang bersangkutan, sehingga mereka dapat belajar secara daring. Setelah pelatihan selesai, mereka harus mengembalikan laptop itu agar dapat dimanfaatkan oleh siswa yang lain. Seluruh biaya pengiriman ditanggung oleh DPP Pertuni. Dalam jangka panjang, kondisi ini tentu akan berdampak pada kualitas sumber daya manusia penyandang tunanetra di Provinsi Aceh.
Tentu saja DPP Pertuni ingin mendapatkan jawaban atas kondisi ini. Olehkarenanya, saat Ketua Umum Pertuni berkesempatan berkunjung ke Banda Aceh pada akhir bulan september 2022, pertemuan dengan pihak Dinas Pendidikan pun dilakukan, baik Dinas Pendidikan tingkat Propinsi, maupun Dinas Pendidikan Tingkat Kota Banda Aceh. Informasi yang didapat dari Dinas Pendidikan Kota Banda Aceh sungguh mengejutkan. Menurut para pejabat Dinas Pendidikan di Ibukota Provinsi Aceh ini, pendidikan inklusif hanya diperuntukkan siswa penyandang autistik dan siswa yang mengalami hiperaktif. Bukan untuk siswa penyandang tunanetra dan penyandang tunarungu. Menurut mereka, pemahaman itulah yang mereka dapatkan saat mereka mengikuti sesi sosialisasi pendidikan inklusif yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Tingkat Provinsi Aceh.
Baca juga: Dear Tunanetra, Lakukan 3 Tips Ini untuk Jalani Pendidikan di Sekolah Reguler
Lalu, apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki situasi ini? Ada kemungkinan, persepsi keliru ini tidak hanya terjadi di Provinsi Aceh, namun juga di propinsi-provinsi lain di Indonesia, terutama di luar Pulau Jawa. DPP mendapati, sebagian besar siswa tunanetra di luar Pulau Jawa menempuh pendidikan 12 tahun di SLB.
Saat mendengar informasi itu langsung dari para Pejabat Dinas Pendidikan Kota Banda Aceh, Ketua Umum Pertuni langsung merespon dengan meluruskan persepsi keliru tersebut. Penjelasan pun disampaikan, bahwa, siswa tunanetra pun berhak menempuh pendidikan di sekolah reguler secara inklusif. Ketua Umum Pertuni pun menjelaskan mandat yang diberikan peraturan perundangan baik UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Peraturan Pemerintah No. 13/2020 tentang Akomodasi Yang Layak Peserta Didik Penyandang Disabilitas, Bahwa Pemerintah daerah wajib membentuk Unit Layanan Disabilitas sektor pendidikan untuk mendukung pelaksanaan pendidikan inklusif. Pemerintah daerah pun memiliki kewajiban untuk menyediakan akomodasi yang layak bagi peserta didik penyandang disabilitas, agar mereka dapat menikmati pendidikan berkualitas secara inklusif.
Mendengar penjelasan Ketua Umum Pertuni tersebut, Kepala Bidang Pendidikan tingkat SMP Dinas Pendidikan Kota Banda Aceh justru meminta bantuan kepada DPP Pertuni, agar melakukan dialog dengan Bappeda Kota Banda Aceh, untuk memperbesar alokasi anggaran pendidikan inklusif, jika DPP Pertuni menginginkan siswa tunanetra juga dapat menempuh pendidikan di sekolah regular. Para pejabat itu memang belum paham. Siswa tunanetra dapat menempuh pendidikan di sekolah reguler itu adalah “hak mereka”, yang telah diatur secara eksplisit dalam UU No. 8/2016 dan PP no. 13/2020, bukan keinginan DPP Pertuni.
Saat Ketua Umum Pertuni memeiliki kesempatan untuk bertemu dengan para pejabat di lingkungan Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus (PMPK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang bertanggungjawab membangun kebijakan tentang pendidikan inklusif di Indonesia, fakta persepsi keliru yang terjadi di Provinsi Aceh tersebut pun disampaikan. Ada keterkejutan dari para pejabat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu.
Perjalanan pelaksanaan pendidikan inklusif di Indonesia nampaknya masih panjang dan berliku. Di saat gerakan mendorong sistem ketenagakerjaan yang inklusif pun mulai menguat, masih belum dibarengi dengan akses pendidikan para penyandang tunanetra yang berkualitas. Sebagai akibatnya, tentu akan ada banyak dari generasi muda penyandang tunanetra belum dapat masuk ke arus utama sektor ketenagakerjaan, karena kompetensi mereka yang belum sesuai dengan permintaan dunia kerja sektor formal, baik di lembaga pemerintah maupun swasta. Dibutuhkan langkah afirmasi yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, untuk mengatasi situasi ini.
*Aria Indrawati