– Penyandang Ketunaan: Istilah Pengganti ‘Penyandang Cacat’

Gambar Penyandang Ketunaan
Gambar Penyandang Ketunaan
Gambar Penyandang Ketunaan
Gambar Penyandang Ketunaan

oleh Didi Tarsidi

Diterbitkan bertepatan dengan hari ulang tahun Pertuni ke-43, tanggal 26 Januari 2009.

Pada tanggal 8-9 Januari 2009 diselenggarakan semiloka tentang terminology “penyandang cacat”, disponsori oleh Komnas HAM dan Departemen Sosial RI, bertempat di Balai Besar Rehabilitasi Binadaksa, Cibinong, Jawa Barat. Istilah alternative yang dihasilkan dari semiloka tersebut akan direkomendasikan untuk dipergunakan guna menerjemahkan frase “persons with disabilities” yang dipergunakan dalam International Convention on the Rights of Persons with Disabilities yang akan dituangkan ke dalam penyusunan RUU tentang ratifikasi konvensi tersebut.

Mengapa Perlu Istilah Pengganti?

Kamus Umum Bahasa Indonesia (Purwadarminta) memberikan beberapa arti untuk kata “cacat” yang mencakup: (1) kekurangan yang menyebabkan mutunya kurang baik atau kurang sempurna (yang terdapat pada badan, benda, batin atau ahlak); (2) lecet (kerusakan, noda) yang menyebabkan keadaannya menjadi kurang baik (kurang sempurna); (3) cela atau aib; (4) tidak/kurang sempurna.

Sebagaimana dapat kita lihat dari pengertian-pengertian yang diberikan dalam kamus bahasa Indonesia tersebut, kata cacat selalu diasosiasikan dengan atribut-atribut yang negatif dan oleh karenanya istilah “penyandang cacat” cenderung membentuk opini publik bahwa orang-orang dengan kecacatan ini malang, patut dikasihani, tidak terhormat, tidak bermartabat. Hal ini sangat bertentangan dengan tujuan Konvensi untuk mempromosikan penghormatan atas martabat “penyandang cacat” dan melindungi dan menjamin kesamaan hak asasi mereka sebagai manusia. Oleh karena itu, kita harus menemukan istilah alternative yang bermartabat untuk mengacu pada orang-orang yang menyandang kecacatan ini.

Apa Istilah yang Dipergunakan di PBB dan Negara-negara Lain?

Perserikatan Bangsa-bangsa dan Negara-negara berbahasa Inggris menggunakan istilah “disability”. Lihat misalnya judul dokumen-dokumen berikut ini: Disability Discrimination Act (undang-undang Kerajaan Inggris, 1995); Americans with Disabilities Act (undang-undang Amerika Serikat, 1999); Convention on the Rights of Persons with Disabilities (konvensi PBB, 2006).

Dalam the International Classification of Impairment, Disability and Handicap, Kesehatan Dunia (WHO, 1980), mendefinisikan tiga aspek kecacatan, yaitu impairment, disability, dan handicap.

Impairment adalah kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi psikologis, fisiologis, atau anatomis (Any loss or abnormality of psychological, physiological, or anatomical structure or function).

Disability adalah suatu keterbatasan atau kehilangan kemampuan [sebagai akibat dari suatu impairment] untuk melakukan suatu kegiatan dengan cara atau dalam batas-batas yang dipandang normal bagi seorang manusia (Any restriction or lack (resulting from an impairment) of ability to perform an activity in the manner or within the range considered normal for a human being).

Handicap adalah suatu kerugian, bagi seorang individu tertentu, sebagai akibat dari suatu impairment atau disability, yang membatasi atau menghambat terlaksananya suatu peran yang normal, tergantung pada usia, jenis kelamin, faktor-faktor sosial atau budaya (A disadvantage, for a given individual, resulting from an impairment or disability, that limits or prevents the fulfillment of a role that is normal, depending on age, sex, social and cultural factors).

Definisi-definisi di atas menunjukkan bahwa disability hanyalah salah satu dari tiga aspek kecacatan itu. Sementara impairment merupakan aspek kecacatan pada level organ tubuh, dan handicap merupakan aspek yang dipengaruhi oleh factor-faktor yang tidak terkait langsung dengan kecacatan, disability merupakan aspek kecacatan pada level keberfungsian individu.

Baca Juga:  Penyandang Disabilitas DKI Jakarta  Tidak  Kebagian  Bantuan Sosial Sembako Pemerintah.

Suatu impairment belum tentu mengakibatkan disability. Misalnya, seseorang yang kehilangan sebagian dari jari kelingking tangan kanannya tidak akan menyebabkan orang itu kehilangan kemampuannnya untuk melakukan kegiatan sehari-hari secara selayaknya.

Demikian pula, disability tidak selalu mengakibatkan seseorang mengalami handicap. Misalnya, orang yang kehilangan penglihatan (impairment) tidak mampu mengoperasikan computer secara visual (disability) tetapi dia dapat mengatasi keterbatasannya itu dengan menggunakan software pembaca layer bersuara (speech screen reader) dan oleh karenanya dia tetap dapat berperan sebagai seorang programmer komputer. Akan tetapi, handicap dalam bidang programming itu akan muncul manakala dia dihadapkan pada komputer yang tidak dilengkapi dengan speech screen reader. Ini berarti bahwa keadaan handicap itu ditentukan oleh factor-faktor di luar dirinya.

UU RI No. 4/1997, Pasal 1 ayat 1, mendefinisikan “penyandang cacat” sebagai “setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya”. Definisi ini sebenarnya memiliki pengertian yang senada dengan “disability”. Jadi, kalau orang tidak suka dengan istilah penyandang cacat itu bukan karena konsepnya yang salah, melainkan karena pilihan kata yang dipergunakan untuk mewakili konsep itu (cacat) yang bermasalah – sebagaimana telah dikupas pada bagian awal dari artikel ini, yang telah membawa kita pada perlunya menemukan istilah alternatif.

Apa Sebaiknya Istilah Alternative Itu?

Semiloka selama dua hari sebagaimana disebutkan di atas tidak berhasil menyepakati satu istilah pengganti “penyandang cacat”. Ada sembilan istilah alternative yang direkomendasikan untuk dipertimbangkan lebih jauh oleh sebuah tim khusus, yang hasilnya akan diajukan untuk uji public. Istilah alternative itu harus memenuhi criteria sebagai berikut:

  1. Deskriptif realistis tetapi
  2. tidak mengandung unsur perendahan martabat (non-derogatory);
  3. Bahasa Indonesia; dan
  4. Sudah cukup familier bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.

Tiga dari sembilan istilah yang direkomendasikan oleh semiloka itu adalah: “difabel”, “orang berkebutuhan khusus”, dan “penyandang ketunaan”.

Saya pertama kali mendengar istilah diffabled pada tahun 1981 dalam suatu diskusi pada konferensi ketunanetraan Asia yang diselenggarakan bersama oleh International Federation of the Blind (IFB) dan World Council for the Welfare of the Blind (WCWB) di Singapura. Istilah ini kemudian diIndonesiakan menjadi “difabel”. Diffabled merupakan akronim dari differently abled, dan kata bendanya diffability (akronim dari different ability) dipromosikan oleh orang-orang yang tidak menyukai istilah disabled dan disability. Orang-orang ini mengartikan istilah disability secara tidak lengkap sebagai “ketidakmampuan”. Mereka berargumen bahwa orang-orang dengan disability bukan tidak mampu melainkan memiliki kemampuan yang berbeda.

Baca Juga:  Seleksi Nasional Onkyo Braille 2016: Bintang Kehidupan

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, WHO mendefinisikan disability bukan sekedar ketidakmampuan, melainkan ketidakmampuan untuk melakukan suatu kegiatan dengan cara-cara yang dipandang normal, dan oleh karenanya istilah ini tetap memberi ruang bagi orang dengan disability untuk melakukan kegiatan dengan cara yang berbeda (sebagaimana dicontohkan dengan kasus programmer tunanetra di atas). Contoh itu dengan jelas menunjukkan bahwa orang dengan disability bukan memiliki “kemampuan yang berbeda” seperti yang diklaim oleh istilah “diffability”, melainkan dapat memiliki kemampuan yang sama tetapi harus menggunakan cara yang berbeda.

Perlu difahami bahwa “disability” bukan lawan kata “ability” (kemampuan). Lawan kata ability adalah inability; sedangkan lawan kata disability adalah non-disability. Jadi, istilah “diffabled” atau “diffability” itu mengandung pengertian yang secara konseptual mengundang perdebatan.

Lebih jauh, istilah diffabled ataupun diffability merupakan istilah yang asing bahkan bagi penutur asli bahasa Inggris, mungkin sama asingnya dengan istilah “difabel” bagi orang Indonesia. Oleh karenanya, orang-orang tertentu berpandangan bahwa penggunaan istilah ini cenderung merupakan upaya untuk menutup-nutupi kekurangan, melarikan diri dari kenyataan, meskipun saya sendiri berpandangan bahwa pelarian diri dari keadaan kecacatan bukan esensi di balik penggunaan istilah “difabel” ini, melainkan merupakan satu upaya untuk menghindari istilah “cacat” yang cenderung merendahkan martabat.

Dengan demikian, istilah difabel hanya memenuhi satu dari empat criteria istilah yang tepat, yaitu hanya “tidak mengandung unsur perendahan martabat”.

Istilah “orang berkebutuhan khusus” memenuhi keempat criteria di atas tetapi memiliki pengertian yang terlalu luas. Istilah “persons with special needs” pertama kali dicantumkan dalam dokumen kebijakan internasional dalam Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi mengenai Pendidikan Kebutuhan Khusus yang dihasilkan dalam Konferensi Dunia tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus, Salamanca, Spanyol, 1994, diselenggarakan oleh UNESCO bekerjasama dengan pemerintah Spanyol. Pada paragraph 3 pendahuluan Kerangka Aksi itu dinyatakan bahwa kebutuhan khusus itu dapat dihadapi oleh anak penyandang kecacatan dan anak berbakat, anak jalanan dan anak pekerja, anak dari penduduk terpencil ataupun pengembara, anak dari kelompok linguistik, etnik ataupun kebudayaan minoritas, serta anak dari daerah atau kelompok lain yang tak beruntung. Pernyataan ini menunjukkan dengan jelas bahwa kecacatan hanyalah merupakan salah satu dari banyak penyebab kebutuhan khusus. Oleh karena itu, istilah “orang berkebutuhan khusus” tidak dapat digunakan untuk menggantikan istilah “penyandang cacat”.

Penyandang ketunaan” sebagai istilah alternative yang paling tepat

Kata “tuna” berasal dari bahasa Jawa kuno yang berarti rusak atau rugi. Penggunaan kata ini diperkenalkan pada awal tahun 1960-an sebagai bagian dari istilah yang mengacu pada kekurangan yang dialami oleh seseorang pada fungsi organ tubuhnya; lihat misalnya istilah tunanetra, tunarungu, dll. Penggunaan istilah tuna ini pada awalnya dimaksudkan untuk memperhalus kata cacat demi tetap menghormati martabat penyandangnya, tetapi dalam perkembangan selanjutnya kata tuna digunakan juga untuk membentuk istilah yang mengacu pada kekurangan non-organik; lihat misalnya istilah tunawisma, tunasusila, dll. Akan tetapi, kata tuna tidak lazim digunakan untuk mengacu pada barang yang rusak, tidak seperti kata cacat yang dapat digunakan untuk mengatakan, misalnya, “sepatu ini cacat”.

Baca Juga:  Meraih Sukses Bersama Braille

Secara kebahasaan, tuna adalah kata sifat (adjective), dan kata bendanya adalah ketunaan, yang secara harafiah berarti kerugian atau kerusakan. Paralel dengan kata “tuna” yang digunakan untuk memperhalus kata “cacat”, maka kata “ketunaan” dapat pula digunakan untuk memperhalus kata “kecacatan”. Oleh karenanya, istilah “penyandang ketunaan” dapat digunakan untuk pengganti istilah „penyandang cacat” (yang secara gramatik seharusnya “penyandang kecacatan”).

Istilah “penyandang ketunaan” memenuhi keempat kriteria di atas. Istilah ini deskriptif realistis, yaitu tetap menggambarkan keadaan yang sesungguhnya (kerusakan, kekurangan atau kerugian sebagaimana arti harafiah kata tuna itu), tetapi tidak mengandung unsur perendahan martabat berkat hakikat eufemisme yang sudah melekat pada kata tersebut. Lebih jauh, istilah „tuna“ juga sudah dikenal dan diterima secara luas, baik oleh penyandangnya maupun oleh masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, istilah „penyandang ketunaan“ tidak terdengar sebagai istilah baru, dan bahkan sudah banyak yang menggunakannya. Pencarian kata „ketunaan“ di Internet dengan Google pada tanggal 25 Januari 2009 pukul 21.29 memunculkan 23900 hasil, sedangkan pencarian frase „penyandang ketunaan” pada pukul 21.30 memunculkan 158 hasil.

Kata tuna atau ketunaan bahkan juga sudah tercantum dalam berbagai dokumen perundang-undangan, antara lain: Undang-undang Nomor 19/2002 tentang Hak Cipta; Peraturan Pemerintah Nomor 72/1991 tentang Pendidikan Luar Biasa; Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 104/Menkes/Per/II/1999 tentang Rehabilitasi Medik; Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas Dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan.

Oleh karena itu, mengingat keseluruhan rasional yang telah dipaparkan dalam artikel ini, sangat dianjurkan agar kita menggunakan istilah „penyandang ketunaan“ untuk mengacu pada orang-orang yang menyandang kecacatan atau untuk menerjemahkan frase persons with disabilities.

Tentang Penulis

DR. Didi Tarsidi adalah dosen pada Jurusan Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, dan Ketua Umum Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni). Dia sendiri adalah seorang penyandang ketunaan, tunanetra.

Bagikan ke yang lain

About Author

Back to top