Tanggal 3 Desember datang lagi. Kini, tanggal 3 Desember mulai diingat oleh lebih banyak orang; Tidak hanya mereka yang menyandang disabilitas; Juga mereka yang tidak menyandang disabilitas, namun memiliki perhatian untuk membangun Indonesia menjadi bangsa yang inklusif. Di masa pandemi, hampir semua kegiatan merayakan Hari Disabilitas Internasional diselenggarakan secara virtual. Hikmah besarnya, kegiatan-kegiatan tersebut dapat menjangkau lebih banyak orang, hingga ke sudut-sudut negeri, dengan catatan di sana ada akses internet. Kegiatan pun tidak hanya menyasar orang-orang dewasa, namun juga anak-anak sekolah yang remaja belia.
Jadi, sebenarnya apa yang kita peringati di Hari Disabilitas Internasional ini? Aparatur Sipil negara dari Kementerian Sosial sering mengatakan “Hari Disabilitas Internasional itu Hari Rayanya penyandang disabilitas”. Benarkah?
Mari kita coba mempelajarinya dan memahaminya dengan lebih baik. Jika kita tidak dapat memahaminya dengan benar, maka kegiatan yang kita lakukan pun juga “tidak benar”; Sasarannya pun tidak benar; Hasil dan dampaknya pun tidak akan sesuai dengan ide awal diciptakannya “Hari Disabilitas Internasional”.
Hari Disabilitas Internasional diciptakan PBB di era tahun 1980an. Namun, mari kita memahaminya sejak dimulainya tonggak baru, yaitu sejak dilahirkannya Konvensi PBB tentang Hak Penyandang Disabilitas (United Nation Convention on The Rights of Persons With Disabilities UN CRPD) di tahun 2006.
Sejak lahirnya UN CRPD, dunia diajak memaknai penyandang disabilitas sebagai bagian dari “keragaman manusia”. Yang spesifik dari penyandang disabilitas adalah, keragaman karena menyandang disabilitas berdampak pada munculnya kebutuhan khusus; Agar penyandang disabilitas dapat berpartisipasi penuh di masyarakat di semua aspek kehidupan, maka, lingkungan berkewajiban menyesuaikan diri dengan hadirnya penyandang disabilitas, yaitu dengan memenuhi kebutuhan khusus mereka, yang oleh UN CRPD disebut “reasonable accomodation atau akomodasi yang layak”.
Huruf e dari Mukadimah UN CRPD mengatakan bahwa:
Mengakui bahwa disabilitas merupakan suatu konsep yang terus berkembang, Dan disabilitas merupakan hasil dari interaksi antara orang-orang dengan impairment dan sikap dan lingkungan yang menghambat partisipasi penuh dan efektif mereka di dalam masyarakat berfundamentalkan persamaan dengan lainnya.
Apa yang dijelaskan oleh mukadimah huruf e dari UN CRPD ini sangat mendasar. Orang yang mengalami ”impairment” – gangguan fungsi pada organ tubuh – akan menjadi ”disabilitas” jika sikap dan lingkungan tidak memberikan dukungan, sehingga orang-orang yang mengalami impairment itu tidak dapat berpartisipasi penuh di masyarakat atas dasar kesetaraan dengan warga masyarakat yang lainnya; Dan itulah yang oleh UN CRPD disebut sebagai ”disabilitas atau disability”.
Jadi, lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan masyarakat harus memberikan dukungan pada penyandang disabilitas agar para penyandang disabilitas dapat berpartisipasi penuh di semua aspek kehidupan; Pendidikan, pekerjaan, politik, seni, budaya, rekreasi, olahraga, usaha,kesehatan, memelihara lingkungan, kegiatan kerelawanan, dan sebagainya. Sejak lahirnya UN CRPD, lingkunganlah yang terus didorong untuk diperbaiki, baik lingkungan fisik maupun lingkungan masyarakat.
Di Indonesia, apa yang dimandatkan oleh UN CRPD, yang disahkan berlakunya di Indonesia dengan Undang-Undang no. 19/2011, telah didomestikasi oleh Undang-Undang no. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas. Adalah sangat positif jika saat ini, peringatan hari Disabilitas Internasional mulai dilakukan oleh lebih banyak pihak, terutama warga masyarakat yang tidak menyandang disabilitas. Meski demikian, perlu diperhatikan dan dicermati, bagaimana masyarakat tersebut memaknai hadirnya penyandang disabilitas. Apakah mereka telah menganggap penyandang disabilitas bagian dari keragaman manusia? Apakah mereka masih menganggap penyandang disabilitas lebih sebagai orang-orang yang memiliki “kekurangan” yang harus terus dibantu?
Untuk memastikan persepsi masyarakat itu benar adanya, para penyandang disabilitas pun harus memaknai dirinya dengan cara yang benar. Para penyandang disabilitas harus lebih sering muncul di masyarakat, baik secara fisik maupun secara virtual, agar kehadiran penyandang disabilitas dapat dirasakan oleh masyarakat yang tidak menyandang disabilitas. Kedua pihak harus lebih sering berinteraksi, agar masing-masing saling mengenal dan memahami, sehingga selnajutnya dapat bersikap dan berperilaku yang tepat.
Tidak perlu menghaluskan kondisi penyandang disabilitas dengan menyebut mereka sebagai orang-orang dengan kemampuan “berbeda”, atau yang di Indonesia sering disebut dengan “difabel”. Kemampuan manusia memang berbeda satu sama lain, baik manusia yang menyandang disabilitas maupun yang tidak menyandang disabilitas. Pada diri penyandang disabilitas, pada saat tertentu mereka harus melakukan kegiatan dengan “cara yang berbeda”. Jadi, yang berbeda adalah “caranya”, bukan “kemampuannya.
Contoh, untuk menggunakan komputer, seorang tunanetra perlu bantuan aplikasi pembaca layar, sehingga tunanetra yang tidak dapat melihat dapat mengetahui apa yang ada di layar dengan bantuan aplikasi tersebut. Untuk dapat membaca, seorang tunanetra membutuhkan buku dalam bentuk buku Braille, atau buku audio, atau buku dalam format e-pub. Tunanetra membaca dengan indera pendengaran dan indera perabaan. Jadi, sekali lagi, yang berbeda “caranya”.
Sudahkah lingkungan kita menyesuaikan diri dengan hadirnya penyandang disabilitas? Jika belum, mari terus kita suarakan dan terus kita upayakan. Membangun masyarakat yang inklusif membutuhkan peran seluruh warga masyarakat dan pemerintah.
Sebagai pembuat regulasi dan penyedia fasilitas serta layanan, Pemerintah juga wajib memiliki pemahaman yang benar tentang penyandang disabilitas, sesuai prinsip-prinsip dalam UN CRPD dan Undang-Undang no. 8/2016. Aparatur sipil negara yang menjalankan roda pemerintahan dan para politisi di DPR yang membuat peraturan dan kebijakan juga harus terus belajar, bagaimana memaknai penyandang disabilitas dengan benar.
Tujuan diterbitkannya UN CRPD oleh PBB adalah untuk membangun dunia ini, termasuk negara Republik Indonesia, menjadi tempat tinggal yang inklusif, yang setiap orang dapat diterima dan dapat berpartisipasi penuh di semua aspek kehidupan. Untuk mencapainya, butuh upaya yang terus-menerus, yang berkesinambungan. Olehkarenanya, diperlukan dialog antar generasi; Dari generasi pendahulu ke generasi kemudian; Dengan demikian, ihtiar yang telah dilakukan dapat terus dilanjutkan, dikembangkan dan disempurnakan. Ada satu masa di saat generasi pendahulu dan generasi penerus harus dapat bekerja bersama-sama, sebagai bagian dari proses penyerahan tongkat estafet perjuangan. Dalam proses ini, sangatlah penting, generasi pendahulu mendokumentasikan semua yang telah dilakukan, agar dapat menjadi rujukan bagi generasi kemudian untuk melanjutkan perjuangan.
Menjadi penyandang disabilitas bukanlah pilihan; Setiap orang berpotensi menjadi penyandang disabilitas, sekurang-kurangnya karena faktor “usia”. Jika Allah berkehendak, sangatlah mudah bagiNya untuk menciptakan umat manusia dalam keadaan seragam. Namun, bukan itu yang Ia kehendaki. Sebagai Dzat Yang Maha Sempurna, pastilah semua ciptaan Allah itu juga “sempurna”. Yang perlu kita semua pahami adalah, bahwa kesempurnaan ciptaan Allah itu tidak mewujud dalam bentuk keseragaman, namun mewujud dalam bentuk “keragaman” ciptaanNya. Ada hikmah yang luar biasa di balik keragaman ciptaanNya tersebut. Mari kita temukan bersama apa saja hikmah tersebut.
Bagi tunanetra, perkembangan teknologi adaptif berupa aplikasi pembaca layar adalah salah satu hikmah dari hadirnya penyandang tunanetra di dunia ini. Dengan memiliki akses ke teknologi informasi dan komunikasi, kini, penyandang tunanetra memiliki kesempatan yang sangat luas untuk berperan di masyarakat. Selamat merayakan Hari Disabilitas Internasional 3 Desember 2020; Hari umat manusia seluruh dunia.
*Aria Indrawati.