Kebutaan ini menimpaku ketika aku berusia lima tahun. Tentu saja peristiwa itu pada mulanya sangat memukul perasaan kedua orang tuaku. Mereka selalu mengkhawatirkan masa depanku. Kini mereka telah tiada. Aku selalu berdoa, memohon kepada Tuhan untuk ketenangan dan kebahagiaan kedua arwah tercinta di alam baka. Selaku orang tua, mereka telah bertindak adil dalam memberikan kasih sayang kepada putra-putrinya, termasuk kepada diriku yang cacat.
Atas saran dokter, di usiaku yang ketujuh, aku dibawa ke bangku sekolah, sekolah khusus bagi anak-anak tunanetra di Bandung. Orang tuaku punya keyakinan, suatu saat aku bisa hidup mandiri.
Di sekolah ini aku belajar berbagai ilmu pengetahuan sebagaimana layaknya teman-teman dan saudara-saudaraku mengenyam pendidikan di sekolah umum. Kemampuan memulis dan membaca huruf Braille bagiku benar-benar awal dari rangkaian sukses yang kuraih. Jenjang-jenjang pendidikan satu per satu kulalui dengan hasil yang memuaskan, hingga pada akhirnya aku mampu menyelesaikan pendidikan pada jurusan bahasa Jerman di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung, sebuah perguruan tinggi umum yang mencetak profesi guru.
Prestasiku di jurusan ini tak diragukan, aku sanggup berkompetisi dengan kawan-kawan awasku. Bahkan tak jarang aku memperoleh nilai terbaik di antara para mahasiswa seangkatanku.
Namun di saat menjelang berakhirnya perkuliahan di tingkat sarjana, muncul kendala yang sulit dikendalikan. Nilai-nilai mata kuliah literaturku selalu buruk. Hal ini disebabkan karena aku tidak punya buku-buku karya sastrawan Jerman dalam tulisan Braille. Aku sedih, kesal dan ingin memarahi diriku sendiri. Aku juga kerap terlambat mengumpulkan tugas kepada dosen manakala harus membuat rihngkasan cerita dari sebuah buku. Terkadang aku iri kepada kawan-kawan awasku. Mereka bisa langsung membaca buku yang ditugaskan, sementara aku tak bisa melakukannya. Pertama kali aku harus mencari buku di perpustakaan, kemudian mencari pembaca yang bisa membacakan buku berbahasa Jerman. Setelah itu perekaman dalam kaset atau dibacakan langsung hinga aku dapat memahami isi cerita. Barulah aku membuat inti sari cerita dalam tulisanku sendiri. Terakhir, aku harus menyalin pekerjaanku itu ke dalam tulisan Latin dengan menggunakan sebuah mesin tik biasa untuk kemudian diserahkan kepada dosen. Karena aku tidak bisa membaca sendiri buku-buku itu maka pengayaan gaya bahasaku menjadi sangat terbatas. Itulah sebabnya nilai-nilai literaturku jatuh.
Rupanya Tuhan memberiku jalan. Aku berkenalan dengan seorang direktur SLB tunanetra di Dúren, Jerman, ketika beliau berkunjung ke asramaku. Aku mencoba menulis surat kepadanya dengan melampirkan daftar buku bacaan wajib bagi para mahasiswa yang akan menempuh ujian akhir.
”Ach so, eine úberaschung fúr mich …! Sebuah kejutan untukku …!”
Suatu hari aku mendapat kiriman buku-buku Braille dari perpustakaan Braille pusat di Jerman. Aku merasa, ibarat rembulan telah jatuh ke pangkuanku, tak disangka, permohonanku itu dikabulkan sepenuhnya. Sejumlah novel, drama, dan lain-lain lengkap dengan kamus Braille bahasa Jerman telah kudapatkan. Luar biasa. Aku sangat bahagia, karena buku-buku Braille itu telah menyelamatkan aku keluar dari kesulitan. Cita-citaku tercapai. Aku menjadi sarjana dan guru bahasa Jerman tunanetra pertama di Indonesia.
Januari 1981, aku mulai aktif mengajar sebagai PNS di SLB tempatku sekolah dulu. Aku bangga dan bersyukur kepada Tuhan, karena sejak itu aku menerima gaji setiap bulan untuk menghidupi keluargaku. Proses belajar/mengajar di sekolah berjalan dengan lancar dan sangat menyenangkan. Mengajar siswa-siswa tunanetra, terasa menemukan duniaku yang sempurna, karena aku dan mereka sama-sama menggunakan huruf Braille.
Lalu bagaimana aku mengajar anak-anakku sendiri yang masih kecil? Mereka tidak tunanetra.
Ketika aku hendak mengajarkan tentang warna, aku membeli satu paket kertas berwarna. Kuberi kode Braille yang menyatakan warna masing-masing pada setiap lembar kertas itu. Merah, kuning, hijau, biru, putih dan hitam. Kuberikan kertas berkode Braille itu kepada anak-anakku, satu per satu sambil kusebutkan warnanya. Anak sulungku, tiga tahun, senang sekali diajak bermain sambil belajar. Aku lakukan cara itu berulang-ulang hingga akhirnya anak-anakku bisa memahami kosep warna dasar yang kuajarkan.
”Horeee!” anak-anakku tertawa riang mendapat pujian ketika mereka mampu menyebutkan warna-warna dengan benar pada setiap benda yang kutunjukkan kepadanya.
Aku juga punya permainan edukatif untuk menciptakan daya kreatifitas anak, berupa pusel dengan sejumlah balok yang menampilkan lambang angka dan huruf Latin. Supaya aku juga bisa bermain dengan anak-anakku, kulakukan lagi pemberian kode Braille. Kulekatkan guntingan selotip yang sudah bertuliskan huruf atau angka Braille pada bidang bawah balok pusel. Huruf ”a” sampai ”z” serta ”0” sampai dengan angka ”9”. Lambang matematika lainnya seperti tanda sama dengan, tanda kurang dan tanda tambah juga tersedia. Dengan cara pasang/bongkar, anak bisa menyusun balok-balok itu membentuk kata atau kalimat matematika. Dengan meraba kode-kode Braille, aku bisa membimbing anak-anakku belajar menghafal bentuk angka dan huruf Latin yang ada pada bidang atas balok.
Memang memerlukan kesabaran dan waktu yang cukup panjang untuk dapat mewujudkan tujuan dari permainan kreatif ini. Alhamdulillah, sebelum memasuki dunia sekolah, anak-anakku sudah bisa membaca dan mengerjakan soal-soal penjumlahan serta pengurangan yang ada pada buku matematika jilid satu untuk kelas satu Sekolah Dasar waktu itu.
Watku bergulir demikian cepat. Tanpa disadari kedua anakku telah dewasa. Mereka sudah bekerja setelah meraih kesarjanaannya. Sementara aku juga sudah menyandang predikat lansia. Hari-hari berlalu seakan tanpa masalah, meskipun pada kenyataannya pasti ada. Tetapi yang penting bagiku dalah bagaimana bisa menyikapi dan mengatasi masalah agar hati tetap legowo.
Aku punya komitmen, seorang lansia harus tetap segar dan tegar. Oleh karena itu di sela-sela kesibukanku sehari-hari aku tidak pernah melewatkan waktu untuk membaca. Melalui majalah-majalah Braille, baik dari dalam maupun luar negeri, aku banyak memperoleh pelajaran.
Di era teknologi canggih seperti sekarang ini, aku juga tidak mau ketinggalan. Buku-buku Braille tentang panduan pengoperasian komputer bicara telah membuka cakrawala baru dalam kehidupanku. Selain dapat mengerjakan tugas-tugas sekolah dn organisasi, kini dengan komputer bicara aku juga bisa berkiprah di dunia maya.
Namun sejauh itu dalam kegiatan sehari-hari selalu membubuhkan kode-kode Braille pada kertas-kertas berharga, seperti rekening bank, polis asuransi serta surat-surat penting untuk pengobatan dan kepegawaianku. Hal ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan pada lingkungan.
Terima kasih Braille, engkau telah mengantarkan aku ke dunia benderang. Engkau telah menghiasi kehidupanku dengan untaian mutiara kisah indah, sehingga aku yang tunanetra bisa menjadi insan bermartabat. Aku bahagia dan sejahtera bersama keluargaku.
Ya Tuhan, jadikanlah aku sebagai lansia yang produktif dan mandiri.
*Jenny Heryani
Pemenang Lomba Menulis Essai Onkyo Braille tahun 2010