Pada tanggal 3 Desember, perayaan Hari Disabilitas Internasional menjadi momentum bagi penyandang disabilitas, termasuk tunanetra, untuk menyuarakan hak-hak mereka. Delapan perwakilan tunanetra Indonesia dari Persatuan Tunanetra Indonesia (PERTUNI) menghadiri Konferensi Regional Youth Summit di Manila, Filipina, pada tanggal 3-5 Desember 2023. Acara ini diselenggarakan oleh “Resources for the Blind Incorporated” (RBI), sebuah organisasi Filipina yang fokus pada pemberdayaan tunanetra sejak 1988.
RBI, didukung oleh ICEVI dan The Nippon Foundation, telah sukses selama dua tahun mengadakan “Regional Youth Summit for People with Visual Impairment.” Fokus utama konferensi adalah sektor ketenagakerjaan bagi tunanetra, yang menghadapi tantangan baru setelah berhasil masuk perguruan tinggi.
Delapan tunanetra Indonesia, terdiri dari Ketua Umum Pertuni dan 7 pemuda tunanetra didampingi oleh dua relawan, termasuk di antaranya dua mahasiswa tingkat akhir dari universitas yang berbeda, menghadiri acara tersebut. Salah satunya, Nur Fauzi Ramadhan, mahasiswa fakultas hukum Universitas Indonesia, mengungkapkan bahwa acara tersebut memberikan pengalaman dan pengetahuan berharga. Tema utama “Higher Education” membahas proses mencari pekerjaan bagi tunanetra setelah lulus perguruan tinggi. Fauzi menilai acara ini sebagai peluang positif untuk belajar dari pemaparan negara lain mengenai pemenuhan hak dan tantangan tunanetra di sektor pekerjaan.
Namun, selain pemahaman tentang isu-isu global, Bahasa Inggris juga menjadi elemen kunci. Para tunanetra dituntut untuk berpartisipasi dalam presentasi dan diskusi antar negara, menunjukkan pentingnya penguasaan Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional.
Nabila May Sweetha, mahasiswi tunanetra asal Makassar, menekankan bahwa penguasaan Bahasa Inggris sangat penting sebagai bahasa internasional. Menurutnya, kemampuan berbahasa, terutama dalam Bahasa Inggris, adalah aspek yang tidak bisa diabaikan.
Dari pengalaman di Regional Youth Summit, terungkap bahwa banyak negara di Kawasan Asia masih menghadapi masalah minimnya karyawan tunanetra di sektor formal, kurangnya akomodasi yang layak, dan aksesibilitas. Oleh karena itu, pergerakan advokasi oleh tunanetra sendiri masih sangat diperlukan. Mahasiswi tunanetra dari Universitas Hasanudin tersebut juga menyatakan ketertarikannya untuk bertemu dengan tunanetra dari berbagai negara. Dia ingin memahami sejauh mana upaya mereka dalam memperjuangkan hak, karakteristik wilayah, dan struktur pemerintahan yang mempengaruhi gerakan mereka.
Secara keseluruhan, pengalaman ini memberikan wawasan yang berharga bagi para mahasiswa, meskipun menunjukkan bahwa tantangan komunikasi tetap menjadi faktor yang perlu diperhatikan. Dengan demikian, peran Bahasa Inggris dalam memfasilitasi dialog antarnegara menjadi semakin penting.
**Sigit Yuliadi